Assalamualaikum teman teman :)
Kali ini aku mau sharing tulisan ku tentang keamanan pangan nih. Tulisan ini sebenarnya adalah tugas makalah waktu koas bagian lab Kesmavet :D
dan aku kira lumayan bermanfaat.. sok mangga dibaca.. komen juga boleh
saya cuma manusia biasa jadi lumrah kalau salah..
daripada ngedumel sendiri kalau ada salah, lebih baik komen di bawah ya.
kalau bosen, dan males baca panjang langsung skip ke pembahasan juga boleh :) Terimakasihhh
With love
Intan Maria P
Wassalamualaikum.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengolahan suatu bahan mentah
menjadi penting untuk meningkatkan nilai tambah suatu barang. Pertambahan nilai
suatu barang dapat meningkatkan keuntungan ekonomi bagi produsen dan tingkat
kepuasan bagi produsen. Namun tidak jarang, pertambahan nilai kurang
memerhatikan aspek keamanan produk. Pengelolaan makanan atau minuman misalnya,
jika tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan foodborne disease. Foodborne
disease adalah penyakit yang ditularkan akibat mengonsumsi makanan yang
terkontaminasi oleh mikroba patogen. Salah satu contoh mikroba patogen adalah Salmonella spp. Hewan dan produknya
khususnya ayam, daging dan telur merupakan sumber utama infeksi pada manusia
yang diakibatkan oleh patogen ini (Poirier et
al. 2008). Pengelolaan yang baik dapat menghindarkan manusia dari foodborne disease. Foodborne disease utamanya
berasal dari pangan dan bahan pangan asal hewan.
Minuman kesehatan tradisional sudah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun
pedesaan. Salah satu minuman kesehatan
yang berbahan pangan asal hewan dan mudah ditemukan adalah Susu Telur Madu Jahe
(STMJ). STMJ merupakan minuman tradisional yang terdiri dari campuran susu
segar, telur ayam mentah, madu, dan jahe. Kandungan bahan yang terdapat pada
minuman ini dipercayai dapat menyembuhkan penyakit sehingga minuman ini menjadi
pilihan bagi masyarakat untuk dikonsumsi dibandingkan obat-obatan (Yoantika
2014). Namun pengolahan yang kurang
tepat memungkinkan minuman ini beresiko tercemar kuman patogen dan menyebabkan foodborne disease. Sumber bahaya utama
dari produk minuman ini adalah dari telur mentah (Usman et al. 2013). Oleh karena
itu penting mengetahui resiko keamanan dari STMJ dan penanganannya untuk
mencegah dan menghindari terjadinya foodborne
disease.
Tujuan
Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk memaparkan resiko keamanan produk olahan
tradisional Susu Telur Madu Jahe (STMJ) yang menggunakan telur mentah dan
penanganannya
.
TINJAUAN PUSTAKA
Foodborne disease merupakan
masalah kesehatan dan ekonomi yang besar di banyak negara dalam dua dekade
terakhir. Foodborne disease dapat didefinisikan sebagai penyakit yang bersifat
menular atau beracun yang disebabkan oleh atau diduga berasal dari konsumsi
makanan atau air (Adams dan Moss 2003). Beberapa
kasus penyakit yang berasal dari makanan yang sering terjadi adalah keracunan makanan
akibat Salmonella spp. dan Staphylococcus aureus (Sudershan et al. 2014).
Susu Telur Madu Jahe (STMJ) merupakan salah satu jenis minuman
tradisional yang telah lama dikenal berasal dari daerah jawa yang dapat
dikelompokkan dalam jenis minuman jamu. Tradisional menurut kamus besar bahas
indonesia diartikan sebagai turun menurun, atau menurut tradisi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa minuman tradisional adalah minuman yang resepnya telah
diturunkan secara turun temurun menurut tradisi suatu daerah. Minuman
tradisional ini juga menggunakan herbal sebagai salah satu bahan bakunya. Minuman
yang berbahan dasar susu, telur ayam mentah, jahe dan madu ini, merupakan salah satu minuman kesehatan
yang dapat memberikan stamina bagi tubuh, menghangatkan badan, menyembuhkan
banyak penyakit dari pegal-pegal hingga masuk angin. (Yoantika 2014).
Koliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator
adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan,
susu, dan produk-produk susu. Adanya bakteri koliform di dalam makanan atau
minuman menunjukan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat
enteropatogenik dan toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Ciri-ciri
bakteri koliform antara lain bersifat aerob atau anaerob fakultatif, termasuk
ke dalam bakteri gram negatif, tidak membentuk endospora, dan dapat
memfermentasi laktosa untuk menghasilkan asam dan gas pada suhu 35 °C-37 °C.
Contoh bakteri koliform antara lain Escherichia
coli, Salmonella sp., Citrobacter, Enterobacter, dan lain lain. E. Coli
jika masuk ke dalam saluran pencernaan dalam jumlah banyak dapat membahayakan
kesehatan. Walaupun E. Coli merupakan
bagian dari mikroba normal saluran pencernaan, tapi saat ini telah terbukti
bahwa galur galur tertentu mampu menyebabkan gastroenteritis taraf sedang
hingga parah pada manusia dan hewan. Keberadaan bakteri coliform dapat
digunakan sebagai indikator bahwa air yang digunakan dapat menimbulkan penyakit
infeksius (Wahjuningsih 2001).
Salmonella pertama kali ditemukan
pada tahun 1885 di tubuh babi oleh Theobald Smith saat meneliti penyakit
pencernaan pada babi. Smith menemukan sekelompok bakteri berbentuk batang dan
menyebabkan kematian hewan ternak tersebut. Nama Salmonella sendiri baru diberikan oleh Daniel Edward Salmon, rekan
Smith yang melakukan penelitian lebih lanjut terhadap jenis bakteri tersebut. Daniel
Edward Salmon adalah seorang ahli patologi dari Amerika (Ryan KJ dan Ray CG
2004).
Gambar 1 Bakteri Salmonella
Genus Salmonella masuk dalam
anggota family Enterobacteriaceae. Bakteri ini bergram negatif, tidak berspora,
panjang rata-rata 2 - 5 µm dengan lebar 0.8 – 1.5 µm, bentuk bacillus. Salmonella merupakan bakteri motil
(kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum) dan memiliki
banyak flagela (peritrichous flagella). Bakteri ini fakultatif anaerob yang
dapat tumbuh pada temperatur dengan kisaran 5–45°C dengan suhu optimum 35–37°C.
Bentuk Salmonella berupa rantai
filamen panjang ketika berada pada temparatur ekstrim yaitu 4-8°C atau pada
suhu 45°C dengan kondisi pH 4.4 atau 9.4. Salmonella
merupakan bakteri motil yang menggunakan flagella peritrichous dalam
pergerakannya. Secara umum Salmonella
tidak mampu memfermentasikan laktosa, sukrosa atau salicin, katalase positif,
oksidase negatif dan mefermentasi glukosa dan manitol untuk memproduksi asam
atau asam dan gas (Jay et al. 2005).
Bakteri ini dapat tumbuh pada pH rendah dan umumnya sensitif pada konsentrasi
garam tinggi. (Bhunia 2008; Percival et
al. 2004).
Salmonella merupakan bakteri yang sensitif panas dimana tidak
tahan pada suhu lebih dari 70˚C.
Pasteurisasi pada suhu 71.1˚C
selama 15 menit dapat menghancurkan Salmonella
pada susu. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi dehidrasi dalam kurun waktu
yang sama pada feses dan makanan untuk konsumsi hewan dan manusia (Pui et al. 2011).
Telur juga merupakan resevoir untuk Salmonella
khusunya S. Enteritidis sebagai organisme yang dapat berkoloni pada ovarium
ayam. Kontaminasi Salmonella Enteritidis
pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi
oleh Salmonella Enteritidis atau
secara vertikal dan secara horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga
sebagai kontaminasi transovarial (transovarial
contaminated). Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa Salmonella Enteritidis pada telur ayam,
berasal dari induk ayam yang telah terinfeksi
(Cox et al. 2000). Transmisi melalui
transovari yang menyebabkan bakteri bisa mencapai bagian dalam telur sebelum
pembentukan cangkang telur dalam oviduk. Selain secara vertikal, transimi juga
dapat terjadi secara horizontal atau berasal dari lingkungan. Pada telur, kuman
dari lingkungan dapat penetrasi ke dalam telur melalui pori pori telur. Sebagai
hasilnya, telur yang disimpan dalam temperatur kamar dapat mengandung
konsentrasi S. Enteritidis yang tinggi, dapat mencapai 1011 sel per telur.
Salmonella Enteritidis dapat melakukan penetrasi pada epitel
usus halus dan menyebabkan salmonellosis. Salmonella
dapat tumbuh pada jaringan sehingga menyebabkan kerusakan epitel usus. Menurut
D’Aoust (1997) Gejala yang ditimbulkan berupa diare, sakit perut, tanpa atau
dengan gejala demam, gastroenteritis, demam enterik, septikemia dan infeksi
fokal. Penyakit biasanya tidak hanya pada orang dewasa tapi juga pada anak
kecil dan usia lanjut. Ada beberapa bentuk salmonellosis yang terjadi pada
manusia yaitu gastroenteritis, demam enteric dan septicaemia. Gastroenteritis
merupakan infeksi pada colon yang biasanya terjadi selama 18-48 jam setelah
masuknya salomenlla dalam tubuh manusia. Gastroenteritis dicirikan dengan
diare, demam dan sakit perut.
Salmonella pada manusia dapat menyebabkan infeksi intestinal
yang dikarakteristikkan dengan periode inkubasi 6-72 jam setelah masuknya makanan
yang terkontaminasi dan demam mendadak, mialgia, cephalalgia, dan malaise
(tidak enak). Gejala utama pada manusia berupa sakit perut, mual, muntah dan
diare. Umumnya penderita salmonellosis akan kembali pulih setelah dua sampai empat
jam. Carrier dapat menyebarkan Salmonella
selama beberapa minggu.
Gejala-gejalanya terdiri dari mual, muntah, sakit perut, sakit kepala,
kedinginan dan diare. Gejala-gejala ini biasanya diikuti dengan kelemahan,
kelemahan otot, demam, gelisah, dan mengantuk. Gejala-gejala tersebut biasanya
berlangsung selama 2-3 hari (Jay et al.
2005).
Salmonella memiliki kemampuan untuk memproduksi sedikitnya
tiga jenis zat toxin, yaitu enterotoksin, sitotiksin, dan endotoksin. Enterotoksin
bersifat termolabil dan meningkatkan siklik
adenosin monofosfat intraseluler (cAMP) serta mengintensifkan sekresi cairan. Yang kedua
adalah sitotoksin, non-lipopolysaccharidic, komponen dari membran luar yang
menghambat sintesis protein. Endotoksin, lipid A, komponen dari
lipopolisakarida dinding sel, mengaktifkan makrofag dan limfosit, dan akibatnya
memicu serangkaian efek biologis seperti demam, leukositosis, dan menurunkan
tekanan darah (Biljana et al. 2010).
Invasi Salmonella tergantung
dari pengaturan sel sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat
inositol dan kalsium sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi
genetik dan melibatkan gen ganda pada kromosom plasmid. Setelah menginvasi
epitel usus, bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang dapat menyebabkan
ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat sintesis protein.
Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi pada mukosa
menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai sitokin
proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon
inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena reaksi
inflamasi usus.
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan
keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga belum
diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari
prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi.
Strain-strain Salmonella mengeluarkan
satu atau lebih substansi enterotoksin yang menstimulasi sekresi usus, namun
peran toksin tersebut pada patogenesis S. Enteritidis masih belum pasti (Cox et al. 2000).
Di Amerika dan Eropa dilaporkan bahwa kasus atau wabah karena infeksi S.
Enteritidis berkaitan dengan konsumsi telur dan produknya yang dimasak kurang
sempurna (mentah atau setengah matang). Antara tahun 1985-1991 dilaporkan bahwa
82% telur kualitas A tercemar S. Enteritidis (Baharudin 2010). Salmonella merupakan salah satu bakteri
pathogen terpenting di Eropa, dan merupakan sumber infeksi utama pada manusia
yang mengkonsumsi daging babi (Van-Loock et
al. 2000).
Populasi dewasa dan anak-anak berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis
dari telur, bahkan wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah
memiliki risiko timbulnya penyakit ini yang lebih serius. Pada wanita hamil dan
individu dengan gangguan sistem imun, jumlah bakteri yang relatif kecil sudah
dapat mengakibatkan penyakit (Cox et al.
2000).
PEMBAHASAN
Susu telur madu jahe (STMJ)
merupakan minuman yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. STMJ dapat ditemui di
tempat penjual jamu di toko toko besar hingga pedagang kaki lima. Cara
pembuatannya pun beragam tergantung dari masing masing penjual. Biasanya
pembuatan STMJ adalah dengan mencampurkan air rebusan susu dan jahe dengan
kocokan telur dan madu. Pembuatan STMJ di toko toko besar ataupun di pedagang
kaki lima biasanya akan merebus susu dan jahe terlebih dahulu lalu
mencampurkannya dengan kocokan telur dan madu. Namun tidak jarang para penjual
sudah menyiapkan rebusan susu dan jahe dalam wadah termos yang suhunya tidak
selalu dijaga. Sehingga campuran telur dan madu langsung dicampurkan dengan air
rebusan susu dan jahe yang hangat hangat kuku. Ini dapat menjadi penyebab
timbulnya salmonelosis akibat cemaran pada telur yang bakterinya tidak mati saat
pemanasan.
Astuti (2012) melakukan penelitian
tentang studi kandungan bakteri Salmonella
pada minuman STMJ di taman Kota Damay Gorontalo. Pada hasil penelitian
tersebut memang tidak ditemukan Salmonella
sp. dalam seluruh contoh STMJ, tetapi tidak terbebas sekali dari kuman lain
yang mungkin bersifat patogen. Salah
satunya yaitu bakteri coliform. Penelitian Pesudo (2014) menyatakan bahwa
hampir semua STMJ yang dijual di warung kaki lima menunjukkan tingkat cemaran coliform yang tidak memenuhi syarat. Bakteri
coliform adalah indikator higiene dan sanitasi. Keberadaan bakteri ini
menunjukkan bahwa dalam proses pembuatan STMJ kurang memerhatikan higiene dan
sanitasi.
Arnia dan Efrida (2007) berpendapat,
bahwa kontaminasi bakteri Coliform
didapat
melalui tangan penjual. Air yang tercemar dan digunakan untuk membersihkan peralatan
minum juga diduga menjadi sumber kontaminasi. Pencemaran ini menunjukkan bahwa
penjual dalam membuat racikan STMJ kurang memerhatikan higiene dan sanitasi,
misalnya tidak mencuci tangan terlebih dahulu, membiarkan kuku panjang dan
kotor atau mencuci gelas untuk membuat STMJ menggunakan air yang telah
tercemar.
Walaupun kedua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa belum terdeteksi adanya cemaran Salmonella dalam STMJ, namun tidak menutup kemungkinan cemaran
tersebut terjadi apabila tidak mengindahkan keamanan pangan dalam pembuatan
STMJ. Astuti (2012) juga menambahkan bahwa rata rata penggunaan telur pada pembuatan
STMJ tidak memerhatikan keadaan kebersihan kerabang telur. Kerabang telur
merupakan salah satu jalur sumber kontaminasi pada telur. Selain secara
vertikal, Guard-Petter (2001) juga menyatakan bahwa S. Enteritidis dapat secara
aktif berpenetrasi kedalam kerabang telur, begitu juga kebanyakan bakteri
lainnya.
Astuti (2012) menyatakan hasil uji
coba pengukuran suhu pada STMJ yang dijual di warung taman Kota Damay mempunyai
suhu dari 51˚C-74˚C. Hanya 4 sampel yang mempunyai
suhu 70˚C-74˚C yang mana suhu tersebut dapat mematikan bakteri Salmonella sp. Hal ini menunjukkan
terdapat kemungkinan bakteri bakteri dapat mencemari STMJ akibat suhu yang
kurang memenuhi syarat. Salmonella sensitif
terhadap panas dan mati pada pemanasan diatas 70˚C (Pui et al. 2011). Oleh karena itu suhu pemanasan saat pencampuran susu
dengan telur merupakan hal yang penting dalam mencegah penyebaran penyakit
akibat Salmonella. Hasil penelitian
Usman (2013) terkait suhu perebusan telur setengah matang pada suhu 80˚C-90˚C
dalam waktu 3 menit masih menunjukkan adanya Salmonella setelah direbus. Hal ini menegaskan bahwa ada
kemungkinan STMJ yang menggunakan telur mentah dalam pembuatannya dengan suhu
yang kurang tepat dan penanganan tidak baik akan menularkan Salmonella pada manusia.
Faktor
yang memungkinkan keberadaan Salmonella dalam
telur adalah kontaminasi Salmonella pada
telur secara vertikal. Induk ayam yang menularkan Salmonella Enteritidis tidak
akan menunjukkan gejala klinis apapun. Kejadian ini disebut silent infection. Berbeda dengan ayam
yang terinfeksi S. pullorum dan S. gallinarum. Ayam dengan infeksi ini akan
mengalami tingkat kematian yang tinggi, penurunan bobot badan yang drastis, dan
penurunan produksi telur. Kejadian silent
infection pada ayam yang terinfeksi Salmonella Enteritidis adalah karena mikroba ini sebenarnya
tidak patogen di ayam kecuali pada serotipe khusus di ayam seperti S pullorum dan S. galinarum (Guard-Petter 2001).
Faktor lain yang menyebabkan adanya Salmonella
dalam telur yang menjadi bahaya penyebaran penyakit adalah lama penyimpanan. Telur disarankan
tidak disimpan lebih dari dua hari dalam suhu ruangan karena telur yang
disimpan lebih dari dua hari utamanya dalam keadaan kulit telur yang kotor akan
memudahkan bakteri menembus telur (Harianto 2002)
Pencegahan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak cemaran coliform adalah dengan
menerapkan prinsip higiene dan sanitasi. Pedagang sebaiknya memerhatikan
kebersihan tempat berjualan dan sumber air baik untuk mencuci peralatan minum
dan juga untuk bahan pembuatan STMJ. Air yang digunakan apabila ditambung lebih
baik ditampung pada wadah tertutup. Peralatan minuman sebaiknya disimpan di wadah
yang juga tertutup. Cuci tangan sebelum membuat STMJ sangat disarankan demi
mengurangi kontaminasi kuman kuman pada minuman tersebut. Disarankan untuk
memakai pakaian yang bersih saat menangani STMJ, lebih baik jika pedagang
menggunakan celemek dan tutup kepala. Kuku jari tangan juga lebih baik dipotong
dan dibersihkan. Saat menangani minuman juga disarankan tidak banyak mengobrol,
mengunyah dan merokok untuk meminimalisasi kontaminasi. Pedagang yang sakit
disarankan untuk tidak menangani pembuatan STMJ.
Telur yang akan
digunakan sebaiknya dibersihkan, dapat dengan cara dicuci. Namun telur harus
segera digunakan apabila telah dicuci. Pedagang disarankan mengatur alur suplai
telur untuk kiosnya agar tidak terjadi penumpukan jumlah telur yang berakibat
pada lamanya penyimpanan telur. Pencegahan terkait keberadaan Salmonella dalam telur mentah yang
digunakan dalam pembuatan STMJ adalah dengan memastikan telur yang digunakan bersih
dengan penampakan fisik baik dan kualitas telur yang baik pula. Pedagang
disarankan untuk memerhatikan suhu pemanasan susu dan jahe ketika akan
ditambahkan dengan telur mentah agar apabila terdapat mikroba patogen dalam
telur, mikroba tersebut dapat mati akibat paparan suhu.
SIMPULAN
Susu
Telur Madu Jahe (STMJ) yang menggunakan telur mentah dapat menjadi sumber
penyebaran bakteri Salmonela spp. Penyebaran
ini dapat dicegah dengan menjaga suhu pemanasan susu dan jahe saat akan
dicampur dengan telur minimal pada suhu 70˚C.
STMJ juga dapat menjadi media penyebaran bakteri coliform, namun hal ini bukan dikarenakan telur mentah, melainkan
karena kurangnya perhatian terhadap praktik higiene dan sanitasi penjual dalam
penanganan STMJ dan sumber air untuk mencuci peralatan minum.
0 komentar:
Posting Komentar